KONFORMITAS (7): Prediktor Utama Konformitas
Menurut Myers(2012), dalam pencarian terhadap orang
yang gemar menyamakan diri, para peneliti telah berfokus pada tiga prediktor
utama, yaitu :
1.
Kepribadian
Menurut Epstein(1980); Rushton &dkk(1983),
meskipun faktor internal(sikap,sifat) jarang memprediksi suatu tindakan
tertentu secara tepat, mereka lebih baik dalam memprediksi perilaku rata-rata
seseorang dalam berbagai situasi(dalam Myers,2012,h.290). Kepribadian juga
memprediksi perilaku lebih baik kerika pengaruh sosial lemah.
Menurut Tong
& dkk(2008), suasana hati positif memicu pemrosesan informasi lebih
dangkal, cenderung meningkatkan konformitas, sedangkan suasana hati negatif
cenderung menurunkan konformitas(dalam Myers,2012,h.290).
2.
Kultur
Menurut Pronin &dkk (2007), mereka
yang tinggal di negara-negar kolektifis (dimana harmoni dihargai dan hubungan
satu sama lain membantu mereka mendefinisikan diri mereka), lebih responsif
terhadap pengaruh dari negara lain. Sementara di negara-negara individualis,
para mehasiswa memandang diri mereka sangat tidak seragam dalam hal benda-benda
yang mereka beli dan pandangan politik(dalam Myers,2012,h.291).
Indonesia merupakan negara kolektifis,
maka kencenderungan lebih responsif untuk conform
terhadap apa yang mempengaruhinya. Seperti saat ini, adanya kebudayaan Korea mempengaruhi
berbagai sektor di Indonesia seperti industri musik, perfilman, makanan dan fashion.
3.
Peran
sosial
Peran-peran sosial memberikan kesempatan
kebebasan dalam interpretasi bagi mereka yang menjalankan peran tersebut, namun
beberapa aspek dari peran tersebut harus tetap ditampilkan. Peran memiliki
pengaruh yang kuat, kita menemukan bahwa kita cenderung menyerap peran kita.
Seseorang mungkin memerankan perannya secara sepenuhnya sadar. Seiring dengan
berjalannya waktu dan ia mulai menginternalisasi peran tersebut, maka
kesadarannya lambat laun akan menghilang. Apa yang semula terasa aneh sekarang
terasa wajar(Myers,2012,h.292).
Sebagian remaja ada yang conform terhadap kebudayaan Korea yang
sebelumnya tidak terlalu minati. Pada awalnya mereka merasa aneh untuk ikut conform seperti teman sebayanya, namun
semakin lama konformitasnya terhadap kebudayaan Korea telah terinternalisasi
dalam dirinya, sehingga ia tidak lagi merasa asing terhadpa kebudayaan tersebut
karena telah benar-benar menyukai kebudayaan Korea. Sebab itulah mengapa remaja
yang awalnya hanya conform terhadap
kebudayaan Korea agar sama dengan remaja lainnya, justru menjadi penggemar
Korea juga.
Komentar
Posting Komentar