DEWASA TENGAH (8) : Penceraian Pada Masa Paruh Baya


Hasil gambar untuk DIVORCE CARTOON

Perceraian pada masa paruh baya terutama terlihat berat bagi perempuan, seperti Albright (Montenegro,2004), yang lebih terpengaruh secara negative oleh perceraian pada usia berapapun dibandingkan laki-laki (marks & Lambert,1998). Pernikahan yang sudah bertahan lama
memiliki kemungkinan yang kecil untuk perceraian dibandingkan dengan pernikahan yang baru saja terjadi, karena sebagai pasangan yang sudah lama hidup bersama, mereka membangun modal pernikahan (marital capital), manfaat financial dan emosional dari pernikahan yang sulit untuk dipisahkan (becker, 1991; jones, Tepperman, dan Wilson, 1995). Orang-orang yang bercerai pada usia paruh baya, terutama perempuan, yang tidak menikah kembali cenderung kurang aman secara financial dibandingkan mereka yang tetap menikah. (wilmoth & koso, 2002) dan mungkin harus bekerja, mungkin untuk pertama kalinya (Huyck, 1999).
Orang-orang dalam usia lima puluhan merupakan yang paling sulit merasakan dampak dengan perceraian pada masa paruh baya, mungkin karena mereka lebih mengkhawtirkan peluang mereka untuk kembali menikah dan, tidak seperti orang-orang yang bercerai pada usia yang lebih tua, lebih kwatir dengan masa depan mereka (Montenegro, 2004).
            Alasan orang-orang usia paruh baya bercerai adala : Yang diberikan oleh para responden AARP adalah penyiksaan oleh pasangan –verbal, fisik, atau emosional. Alas an lain yang sering muncul adalah perbedaan nilai atau gaya hidup, ketidaksetiaan, penyalahgunaan alcohol, atau obat-obatan, dan sekedar sudah tidak cinta lagi. Kebanyakan orang berusia paruh baya yang bercerai pada akhirnya bisa bangkit kembali, seperti yang terjadi pada Albright. Rata-rata para responden AARP menilai sikap mereka terhadap hidup setinggi populasi umum berusia 45 tahun keatas dan lebih tinggi dibandingkan mereka yang lajang pada kelompok usia mereka. Tiga dari empat responden mengatakan bahwa berakhirnya pernikahan mereka merupakan keputusan yang tepat. Sekitar sepertiga (32 persen) telah menikah kembali -6 persen dengan mantan pasangannya –dan sikap mereka lebih baik dibandingkan mereka yang tidak menikah kembali (montenegro,2004)
Namun stress tetap ada, dengan berbagai alasan. Hamper setengah (49 persen) dari responden AARP –terutama perempuan-mengatakan bahwa meraka sangat menderita karna stress dan 28 persen karena depresi. Berbagai proporsi ini serupa dengan kadar diantara lajang dengan usia yang sama (Montenegro,2004). Pada sisi positif, seperti dengan Albright, stress karena perceraian bisa mengarah kepada pertumbuhan pribadi (Aldwin & Levenson, 2001; Helson & Roberts, 1994)
Tingkat perceraian di antara boby boomer lansia yang sekarang berada pada usia limapuluhan, banyak diantara mereka yang kemudian menikah dan memiliki anak yang lebih sedikit dibandingkan generasi sebelumnya, diproyeksikan terus meningkat (hiedemann et al., 1998; uhlenberg, Cooney, dan Boyd, 1990). Dalam pernikahan yang sudah lama terjadi, menigkatnya harapan hidup dalam kondisi kesehatan yang baik setelah masa pengasuhan anak berakhir bisa membuat bubarnya pernukahan marginal dan harapan kemungkinan menikah kembali menjadi pilihan yang lebih praktis dan menarik (hiedemann et.al., 1998). Para peneliti menggunakan enam dimensi pengekuran kesejahteraan psikologi dari Ryff,seta criteria lainnya. Dalam hamper seluruh jawaban responden, orang-orang usia paruh baya menunjukkan lebih dapat beradaptasi dalam menghadapi perpisahan atau perceraian dibandingkan mereka yang lebih muda, meskipun mereka memiliki masa depan yang terbatas untuk menikah kembali (marks, & lambert 1998).


Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEORI ATRIBUSI (1) : Teori Atribusi Harrold Kelley

Auto anamnesa dan Alo anamnesa